Artikel saya Soal “Kebijakan Penonaktifan NIK Warga Jakarta: Buruk Rupa Cermin Dibelah” mendapat respon pejabat penting Pemprov DKI

Foto-INT/IST

SAAT ini fungsi NIK sangat vital, apalagi NPWP pun sudah digantikan oleh NIK. Sehingga kebijakan penonaktifan berpotensi melanggar hak asasi rakyat

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Saya tidak sebutkan namanya, tetapi dia adalah salah satu pejabat penting di Pemprov DKI, seorang yang baik, dan juga teman baik saya.
Pejabat tersebut menjelaskan pentingnya kebijakan penonaktifan NIK di Pemprov DKI Jakarta untuk tujuan asas keadilan bagi warga yang benar-benar tinggal di Jakarta.

Dalam konteks itu, ia menjelaskan bahwa yang dinonaktifkan adalah mereka yang secara fisik sudah tidak berdomisili di Jakarta lagi. Ia juga menegaskan bahwa dengan kebijakan ini, administrasi kependudukan akan menjadi lebih tertib karena data yang tercatat akan sesuai dengan kondisi fisik domisili yang nyata. 

Menurut pejabat tersebut, administrasi kependudukan selama ini sudah dijalankan, tetapi praktiknya tidak dilakukan dengan baik, sehingga kerap terjadi pembiaran atas pelanggaran terkait administrasi kependudukan. Ia mencontohkan ada orang yang sudah tidak tinggal di Jakarta selama 25 tahun namun masih tetap memiliki KTP Jakarta.

Atas respon dari pejabat penting Pemprov DKI Jakarta tersebut, saya menjawab sebagai berikut:

“Kalau yang sudah pindah, seharusnya otomatis ganti KTP, Pak. Petugas di DKI dan di daerah tempat mereka tinggal yang baru sudah otomatis bisa bertindak. Untuk apa ada PNS Dukcapil, lurah, dan kepala desa se-Indonesia, Pemda, dan Mendagri, tapi tidak bisa atasi masalah ini, apalagi sampai tinggal 25 tahun tapi tidak ganti KTP. Mereka makan gaji buta?!”

Saya melanjutkan jawaban saya, “Tapi masalah administrasi kependudukan tidak bisa dibuat dengan penonaktifan NIK warga yang berpotensi merugikan rakyat. Saat ini fungsi NIK sangat vital, apalagi NPWP pun sudah digantikan oleh NIK. Sehingga kebijakan penonaktifan berpotensi melanggar hak asasi rakyat.”

Kemudian saya memberi masukan, “Menurut saya intinya bukan penonaktifan NIK. Harus berkoordinasi dengan daerah di mana mereka tinggal untuk dibuatkan NIK baru atau pergantian NIK dengan proses surat pindah alamat. (KTP Baru dengan nomor NIK yang sama tetapi telah diganti dengan alamat baru) Setelah  KTP baru terbit, maka otomatis bisa menggantikan NIK dengan alamat lama, sehingga tidak merugikan rakyat.”

Kemudian saya menjelaskan, “Jika DKI ngotot penonaktifan NIK tetap dijalankan, maka tindakan yang sama juga harus dilakukan oleh DKI, seperti: usir semua orang bukan warga DKI ber-KTP DKI yang tidak berhak tinggal di Jakarta, gelandangan, pengemis, mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan, gubuk-gubuk liar, dan lainnya. Mereka itu tidak punya KTP DKI tapi bisa tinggal bertahun-tahun di DKI.”

Kemudian saya menambahkan, “Banyak lagi masalah, para pendatang yang tinggal di DKI tanpa punya KTP. Mereka tinggal di Jakarta bertahun-tahun tanpa ganti KTP Jakarta termasuk penggusuran warga yang tinggal di Jakarta tapi bukan di tempat yang merupakan haknya. Bagaimana dengan semua ini? Apakah Pemprov DKI Jakarta sanggup tuntaskan semua masalah ini?!”

Sebagai penutup, saya tambahkan bahwa untuk masyarakat yang ingin memperbarui data alamat KTP karena pindah domisili, dapat merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 108 Tahun 2019. Tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Presiden No 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk.